MEMBINA KELUARGA BAHAGIA

on Minggu, 08 Februari 2009




Oleh: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA


Pasangan ideal dari kata keluarga adalah bahagia, sehingga idiomnya menjadi
keluarga bahagia. Maknanya, tujuan dari setiap orang yang membina rumah tangga
adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan
kehidupan keluarga sebagai ukuran kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang
gagal karirnya di luar rumah, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan
sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia.
Sebaliknya orang yang sukses di luar rumah, tetapi keluarganya berantakan, maka
ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapapun sukses diraih, tetapi
kegagalan dalam rumah tangganya akan tercermin di wajahnya, tercermin pula pada
pola hidupnya yang tidak bahagia.

Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Secara psikologis,
kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anak-anak, cucu-cicit atau
bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan, ; ketenteraman, kerinduan,
keharuan, semangat dan pengorbanan,semuanya berlabuh di lembaga yang bernama
keluarga. Sacara alamiah, ikatan kekeluargaan memiliki nilai kesucian, oleh
karena itu bukan hanya di masyarakat tradisionil kesetiaan keluarga dipandang
mulia, pada masyarakat liberalpun, kesetiaan keluarga masih menjadi nilai
keindahan, meski persemayaman keindahan itu di alam bawah sadar. Dibalik budaya
“pergaulan bebas” yang dinikmati masyarakat liberal, tetap saja diakui di alam
bawah sadarnya “kebenaran” nilai kesetiaan dalam hidup berkeluarga.

Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu
yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar
yang merupakan konsep dari bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket)
bisa didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan
dalam wujud bangunan itu.

Demikian juga membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki
konsep tentang keluarga bahagia. Banyak kriteria yang disusun orang untuk
menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya
masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga
dengan tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang pendidikannya
tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian
penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu makna. Demikian juga pangan bukan
sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada “selera” non gizi yang menjadi
konsepnya. Demikian seterusnya tempat tinggal (papan) , kendaraan, perabotan
bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna
budaya. Secara sosiologis pesikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga
dipandang sebagai parameter kebahagiaan.

Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, isteri bukan sekedar perempuan
pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami bukan sekedar lelaki,
tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertikal.
Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di jalanan, dengan siapa saja,
tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan. Hubungan seksual dengan
perselingkuhan mungkin bisa memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak
pernah melahirkan rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan psikologis.

Konsep keluarga bahagia yang Islami, biasanya disebut dengan istilah Keluarga
Sakinah.

Sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

0 komentar: